Pilihan dan Pengorbanan (When Love Has to Choose and Sacrifice) #CERPENKU


Pilihan dan Pengorbanan
(When Love Has to Choose and Sacrifice)

                   Kaela duduk di salah satu kursi di Pizza Hut paling pojok sendirian. Sudut itu adalah sudut favoritnya yang entah kenapa setiap meluangkan waktu ke tempat khas makanan Italia itu Kaela selalu menempatkan diri di sana. Dan dia selalu merasa nggak enak kalo nggak duduk disana. Mungkin karena di pojokan, Kaela merasa nggak terlalu rame dan nggak terlalu menarik perhatian pengunjung lain. Satu menu favoritnya yang penuh keju tergolek lemah di pinggan pizza karena dari tadi sama sekali tak tersentuh. Gadis itu melihat arloji kuning pisang mencoloknya, dan mendesah. Pasti telat lagi, pikirnya sambil menggigit bibir putus asa. Entah sudah berapa lama dia ada di sana menunggu janji, tapi sepertinya tidak akan ada tanda-tanda kehadiran seseorang yang ditungguinya hingga dia memutuskan menelepon sebuah nomor.
                   “Fuh… tidak menjawab. Kemana sih dia?” wajah imut gadis berambut ikal dan panjang sepinggang yang dijepitnya kecil ke belakang itu kini berubah gusar. “Selalu aja kayak gini. Janji sendiri, nggak nepatin sendiri. Huh.”
                   Sudah 20 menit berlalu sejak pesanannya diantar oleh Mbak waitress. Pizza-nya kini sudah mendingin. Untung tadi Kaela hanya memesan 1porsi mini. Biasanya Kaela bisa memesan sepinggan besar pizza yang memang merupakan salah satu menu kesukaannya.
                   Kaela mengedarkan pandangan ke penjuru Pizza Hut yang tidak terlalu rame sore ini. Yah, siapa tau muncul Andrez disana. Hari ini entah kenapa tiba-tiba Andrez mengajaknya makan di Pizza Hut. Walaupun bukan yang pertama kali, tapi ajakan Andrez yang bisa dibilang jarang untuk sebuah ajakan makan atau jalan biasa, membuatnya agak surprised sehingga mau datang 5menit lebih awal dari waktu yang ditentukan.
                   Tapi toh kini nafsu makannya sudah hilang. Menunggu dari dulu memang bukan tipikal Kaela. Yah, Kaela bisa aja pulang dari beberapa menit yang lalu, tapi Kaela nyoba sabar. Apalagi menghadapi cowok bernama Andrez.
                   Kaela mendengus, ini percobaan terakhir. Batinnya sambil mendial nomor yang baru saja ditelfonnya.
                   Maaf, nomor yang anda hubungi, tidak menjawab. Terdengar suara mesin penjawab di seberang.
                   GOSH! Kaela memberesi hape nya dan memasukkan dalam tas dengan kasar tanda dia sudah tidak bisa mentolelir lagi. Kaela pergi dari sudut dengan setengah berlari turun ke besement, masuk mobilnya dan menyetir dengan rasa tak sabar.
                   2, 3, 5 ah..udah berulang kali Andrez seperti ini. Guess, dia sekarang lagi tidur, atau keluar bareng temen-temennya yang berharga. Lupa lagi? Alasan klise yang mau nggak mau Kaela ngerasa muak memikirkannya. Kapan sih Andrez bisa jadi cowok normal baginya?

                  

Malamnya Kaela bersantai di kamar kost-nya yang lumayan besar untuk sebuah kamar sewa ukuran anak kuliahan. Kaela baru masuk kuliah beberapa bulan. Kota ini pertama kalinya Kaela hidup sendirian tanpa ada Mama yang selalu setia menemaninya dan mengurusnya. Walaupun Kaela bisa dalam sebulan sekali atau 2 kali pulang ke rumahnya sendiri, tapi Kaela hanya memanfaatkan kesempatan itu kalo dia kangen Mama aja. Karena selain Kaela bisa belajar mandiri, toh di kota ini Kaela nggak bener-bener sendiri. Ada Andrez yang menjaganya.
                   Sekali lagi nama Andrez muncul. Kaela masih sebel gara-gara insiden pembatalan Andrez secara sepihak tadi. Dan sampai sekarang Kaela belum dengar satupun alasan yang keluar dari mulut cowok itu sebagai ucapan pembelaan diri.
                   Huh. Percuma ada Andrez, toh sekarang dia tetep aja sendiri. Kayaknya dia ada ataupun nggak, nggak ada pengaruh berarti ke gue. Batin Kaela miris. Seharusnya udah dia duga. Andrez adalah satu-satunya orang yang nggak bisa dipegang omongannya di hidup Kaela. Dan bodohnya Kaela mau aja dibodoh-bodohin dengan masih aja sabar ngadepin sifat Andrez yang makin keterlaluan.
                   Masih dengan bersungut-sungut, Kaela membuka laptop dan memasang modem. Se-enggaknya dia masih bisa cuap-cuap di twitter atau chatting timbang bête terus-terusan nungguin kabar dari Andrez yang sengaja nggak dia hubungin sejak kepulangannya dari Pizza Hut tadi sore. Niatnya sih pengen bikin Andrez kapok dan dia pengen tau gimana respon cowok itu kalo nggak dapet kabar dari Kaela.
                   Lagu di playlist-nya memutar lagu lama milik The Red Jumpsuit Apparatus yang judulnya Your Guardian Angel. Lagu favorit Kaela sepanjang masa. Kaela suka banget sama lagu ini sejak…….
                   Ingatan Kaela tiba-tiba memunculkan gambar seorang cowok. Lori. Cowok yang pertama kali memasangkan headset berisi lagu ini ke telinganya. Dan Kaela masih ingat betul kapan, dan dimana hal itu terjadi. Sosok Lori bermunculan di benaknya seperti kaset yang diputar ulang. Saat Lori ketawa, saat Lori diam serius dengerin lagu-lagunya yang extra ordinary, saat dia godain Kaela dengan menyentuh kepala Kaela dan ngacak-ngacak rambutnya gemes, yang selalu diem kalo Kaela marah dan berusaha dengan sabar bujuk Kaela kalo lagi ngambek, dan saat Lori natap Kaela dengan tatapan sayang dan lembut.
                   Angan-angan Kaela terhenti saat hape-nya berbunyi. Andrez calling…
                   Dengan ogah-ogahan Kaela mengangkatnya,”Halo?”
                   “Hai, Sweety. Lagi ngapain?” serunya di seberang dengan nada riang.
                   “Lagi OL aja.” Jawab Kaela singkat.
                   “Lagi capek apa gimana? Tadi seharian kemana?” tanyanya enteng dan Kaela bisa menebak kalo Andrez kini pasti memasang tampang wajah tanpa dosanya seperti biasa.
                   Kaela geram, ingin semua kata-kata kasar dan amarahnya dia tumpahkan ke cowok yang udah 3bulan ini berstatus jadi pacarnya itu, tapi ditahannya. Entah kenapa selalu ada kata ‘pengertian’ bagi sifat Andrez yang slebor, sering membatalkan janji-janji, super cuek, dan sama sekali tidak menandakan bahwa dialah cowok Kaela. Atau setidaknya bersikap seperti cowok-cowok pada umumnya. “Kamu nggak inget ya?” Kaela balik bertanya dengan suara lembut. Padahal sebelumnya, Kaela tidak pernah diam saja diperlakukan seperti itu oleh cowok manapun. Karakter Kaela yang berontak dan bossy sama sekali tidak dipakainya saat bersama Andrez. Dan Kaela tau kalo itu juga nggak ada gunanya dan nggak mempan kalo dihadapkan pada Andrez.
                   “Inget apa, Sweety?”Lagi-lagi Andrez berkata dengan cueknya.
                   Kaela menggigit bibir menahan air mata. Kapan sih Andrez bisa berubah? “Nggak inget apa-apa kok.”
                   “Oh ya udah. Aku ada acara bareng anak-anak nanti. Besok juga aku musti ke Jogja.”
                   “Lho, ngapain?”
                   “Ada acara lah. Ya udah, aku cuma pengen tau kabar kamu kok. Jangan lupa makan, nanti Mama-mu marah-marah lagi. Dah, Sweety.”
                   Klik. Sambungan terputus.
                   Kaela nggak sanggup lagi. Lagu Your Guardian Angel yang mendayu-dayu mensugestikan air mata untuk turun. Sambil memeluk boneka berbentuk bola basket seukuran 4kali ukuran aslinya, Kaela menyerapah pelan. Bukan, bukan untuk Andrez. Tapi untuknya sendiri.
                   ……………………………………………………………………………………
                   Mikaela Widyasanjaya berlari menuruni tangga yang melingkar artistic dengan kecepatan penuh. Dari pipinya mengalir sungai air mata yang terus-terusan disekanya berulang kali.
                   “Kae! Tunggu!” Panggil sesorang di belakangnya yang juga tak kalah cepat mengikuti langkah Kaela.
                   Kaela sama sekali tak menoleh ke belakang. Yang ditujunya hanya pintu berukir indah yang kini sudah setengah terbuka. Rumah milik keluarga Lorian Hastyadaro dulunya yang kini nyaris kosong melompong, hanya tersisa beberapa perabot besar yang kurang penting.
                   Saat tangan mungilnya menyentuh pintu, seorang cowok dengan tanpa diduga menutupnya segera sekaligus memblokade pintu dari Kaela.
                   “Minggir!” bentak Kaela kasar.
                   “Nggak, Kae. Sebelum kamu dengerin penjelasanku dulu.” Sang pemilik rumah, cowok jangkung berkulit gelap dan berambut ikal, berkata dengan ekspresi memohon. Dia mencoba meraih Kaela. Namun ditepis dengan kasar.
                   “Nggak perlu. Dan please, aku mau pulang!” Ujar Kaela nyaris berteriak.
                   “Oke, kamu boleh pergi. Tapi dengerin dulu…”
                   “Dengerin apa lagi?!” potong Kaela cepat. Dia melirik sengit pada cowok itu. “Dengerin kalo elo…” Kaela menggantung kalimatnya beberapa detik. Bukan hanya karena dia sudah mencoba memanggil tuan rumah dengan sebutan ‘elo’, tapi juga karena tiba-tiba hatinya nyeri untuk mengucapkan kalimat selanjutnya. “…lo..lo selama ini tinggal bareng sama mantan lo itu?” Air mata Kaela menetes lagi. Suara isakannya terdengar bergema di ruang tamu itu.
                   Lori menghembuskan napas frustasi, “No…Sayang, Kaela..Aku nggak tinggal bareng..aku..”
                   “Apa?!?” Tukas Kaela garang. “Nggak tinggal bareng terus apa?! Dan, lo nggak bilang apapun ke gue padahal dia..dia..udah disana 2bulan kan? Kenapa, Ri?” Kaela sesenggukan. Sedangkan Lori hanya memandangnya prihatin dengan mata berkaca-kaca.
                   “Aku mau bilang. Tapi aku nunggu saat yang tepat.”
                   “Saat yang tepat? 2bulan? Mentang-mentang gue disini, nggak tau apa-apa aja yang terjadi ke elo? Mentang-mentang gue nggak bisa ngecek elo setiap saat?! Jadi lo gunain kesempatan kita LDR buat..buat..sama dia! Tinggal bareng bahkan!!!” teriak Kaela keras.
                   Lori menggeleng kuat-kuat, “Kae…aku..aku nggak tau. Gini, aku pulang kuliah, dan tiba-tiba aja…she was there. Aku juga bingung. Aku protes ke Mama, Mama malah balik marah ke aku. Dan aku sempet berantem sama Mama. Aku nggak bisa berbuat apa-apa, Kae. Sebenernya aku udah mau cerita ke kamu. Tapi, aku takut nyakitin kamu.”
                   “Alasan!!! Bulls**t tau nggak?! Gue benci ama lo!!!” Kaela menangis pelan hingga suaranya hanya tinggal isakan. Saat itulah Lori meraih Kaela ke pelukannya. Seakan ikut merasakan apa yang dirasakan gadis di depannya itu.
                   “Sayang..Maaf..aku bener-bener minta maaf…”
                   “Kenapa, Ri? Kenapa harus dia? Apa salahku sama dia? Ini udah yang kesekian kalinya dia selalu jadi pemicu ini semua. Kalo emang ada yang belom selesai antara kalian, selese-in dulu.” Kaela menangis pelan di pelukan cowok yang 15cm lebih tinggi darinya itu. Energinya seakan sudah habis terkuras amarahnya yang dia keluarkan melalui teriakan-teriakannya tadi. “Apa seistimewa itu Lyra di hidupmu? Sampai-sampai walau 1,5tahun pacaran pun, dia selalu datang lagi, lagi, dan lagi? Ri, ini udah yang keberapa kalinya? Apa ini cara dia ngancurin hubungan kita? Tell me, Ri. Salahku apa?”
                   Mata Lori terpejam, berusaha tidak meneteskan air mata di hadapan Kaela. Tangannya yang lentik mengelus rambut Kaela, berusaha menenangkan sesenggukan Kaela yang makin mengiris hatinya. “Sayang..Kaela..Kamu percaya aku kan? Aku nggak kepingin nyakitin kamu. Aku sayang kamu.”
                   “Tapi, Lyra… Udah 2bulan kamu boongin aku. Udah 2bulan dia tinggal di rumahmu, udah 2bulan juga dia seatap sama kamu. Kamu tau nggak kayak apa perasaanku sekarang? Sakit, Ri. Sakit banget. Kenapa harus Lyra?”
                   “Mama-ku. Ini kemauan Mamaku, dan entah apa yang Lyra bilang ke Mama sampek dia dibolehin tinggal selama yang dia mau di rumah.”
                   Kaela memandang Lori nanar. Lalu Kaela mendorong Lori tiba-tiba hingga Lori nyaris terjungkal mendapati reaksi Kaela yang tiba-tiba melepaskan pelukannya dengan ekspresi sedingin es menatapnya geram. “So, nggak ada yang perlu dipertahanin lagi. Gue muak! Gue bener-bener capek! Apapun alasan lo, denger, mulai sekarang, jangan pernah nunjukin diri ke hadapan gue. Lyra, atau siapapun, gue nggak peduli!”
                   “Kae…Jadi kamu mutusin aku gara-gara Mama bolehin dia tinggal di rumah?”
                   “Nggak. Gue mutusin lo karena semuanya udah mengarah ke satu pilihan. Dengan lo nggak mau bilang ini sejujurnya, gue rasa lo udah memilih.” Kaela melihat setitik bulir bening melewati garis-garis pipi Lori. Sesak memang mengatakan ini semua, Tapi Kaela mencoba mengucapkan kata-kata pamungkasnya, Terutama saat dia tahu blokade Lori agak mengendur. ”Dan sepertinya Mama lo juga udah memilih, Ri.”
                   ……………………………………………………………………………….
                   Andrez Triatma adalah sosok yang muncul setelah semuanya berakhir. Kaela sudah lama mengenal Andrez. Dia sahabat baik Lori. Saat semua sms, telepon, dan semua hal tentang Lori dibuangnya, hadirlah Andrez yang selalu menguatkan, selalu menyemangatinya. Ehm, bukan. Bukan menyemangati. Sejak dulu Andrez memang bersifat cuek dan spontan. Jadi, selama proses melupakan Lori, Andrez selalu ada di sampingnya. Yah, sebenarnya Kaela agak kagum dengan pemikiran-pemikirannya yang lumayan dewasa daripada Lori, tapi memang belum ada yang bisa menggantikan Lori saat itu.
                   Setidaknya setelah beberapa minggu setelah kelulusan SMA-nya, Kaela mendapat hadiah manis berupa pernyataan cinta dari Andrez. Tidak dengan cara romantic memang, tapi setidaknya, entah kenapa Kaela berusaha move on tanpa harus mengingat-ingat Lori lagi. Walaupun sehari-harinya, Lori selalu bersama-sama Andrez.
                   Alasan minornya ialah, Kaela ingin menunjukkan bahwa Lori bukanlah cowok yang tepat baginya. Ingin dia teriak kalo Andrez dan dia bisa lebih baik.
                   Dan berhasil. Satu email datang saat seminggu hari jadi Kaela-Andrez. Dari Lori. Berisi ucapan selamat dengan warna kecewa tersirat di dalamnya. Kaela merasa menang saat itu. Dan yakin, Lori bisa mendapat pelajaran karena menyia-nyiakan dirinya karena sekarang Kaela sudah mendapat pengganti yang lebih baik, dan sangat dekat dengannya.
                   Tapi kemenangan Kaela mulai terasa hambar. Saat muncul godaan-godaan kecil dan menghadapi sifat-sifat Andrez yang mulai kelihatan aslinya. Hingga sekarang. Dan Kaela masih memegang gengsi dengan mencoba sabar menghadapi Andrez. Sesuatu yang sudah makin mencucuk ubun-ubunnya hingga kadang ia sudah merasa tak kuat lagi. Tapi demi agar tak kehilangan muka dengan Lori, Akhirnya hingga sekarang Kaela mencoba sabar.
                   Lori… Kenapa dia nggak mencarinya? Kaela tiba-tiba kangen Lori. Lori, yang kini telah satu kota dengannya, tinggal hanya beberapa km dari kost’an-nya, tapi sebisa mungkin Kaela tak ingin melihatnya. Kaela terlalu sakit hati.
                   How can he doing this? Membiarkan Lyra, mantan super rese yang udah berulang kali bikin hubungan Kaela dan Lori putus. Entah apa alasannya. Dan dia punya nilai tambah di hadapan Mama Lori yang sampai sekarang pun tak pernah ditemui Kaela. Finally, Mama Lori membolehkannya tinggal di rumahnya. Seatap dengan Lori yang notabene adalah mantan pacar Lyra. What kind of SH*T, coba?! Apa segitu besarnya pengaruh Lyra ke Mama Lori? Atau bahkan, ke keluarga itu?
                   Lagi-lagi membayangkannya membuat Kaela miris. Bahkan nama mereka hampir sama. Lyra, Lori. Bisa saja dalam rumah itu, Lyra dan Lori sering ketemu, papas an waktu mau ke kamar mandi, berdua’an di rumah, lalu………… Ah! Kaela pusing. Sakit banget rasanya. Lebih sakit daripada kelakuan Andrez. Ya! Itu sebabnya Kaela lebih memilih ‘membuang’ dirinya pada Andrez yang kini layaknya orang asing, bukan pacar baginya. Kaela memilih sakit dan makan hati gara-gara Andrez dibanding memaafkan Lori dan Lyra. Hatinya sudah terlanjur hancur.
                   Walaupun di saat-saat seperti ini, Kaela kangen pada Lori yang Kaela sangat yakin dia nggak bersalah.


                   “Sweety, kamu nggak papa? Kamu pucet banget lho.” Andrez menatap Kaela khawatir. Pagi ini Kaela sengaja berangkat pagi ke kampus walaupun nggak ada jadwal kuliah. Dia cuma nggak pengen sendiri di kost’an. Lagian Kaela tahu kalo minggu ini Andrez banyak kuliah pagi.
                   “I’m fine.” Jawab Kaela pendek di dekat mobil abu-abu miliknya yang terparkir di parkiran kampusnya. “Ngapain kamu ke sini?”
                   “Aku liat mobilmu tadi dari kampusku. Ya udah, aku ikutin. Lagian aku kan kangen kamu juga, Sweety.” Andrez tersenyum memamerkan sederet giginya yang rapi.
                   Kaela hanya menarik bibir mencoba tersenyum. Kata-kata manis Andrez tidak terasa lagi baginya. Hambar. Layaknya bukan kata yang berarti lagi untuk diucapkan kepada Kaela.
                   “Kamu udah makan? Kamu sakit kah?” Andrez menyentuh dahinya dengan ekspresi takut-takut. Kaela diam saja. Saat itulah sosok Lori muncul.
                   DEG! Kaela merasa jantungnya berdegup kencang melihat Lori yang saat itu memakai jeans gelap, dan kemeja abu-abu garis-garis memarkir motornya di sebelah mobil Kaela, lantas menatap pasangan Kaela-Andrez dengan tanpa ekspresi.
                   “Woy, Ri. Ngapaen lo kesini? Kampus kita di sono noh.” Celetuk Andrez cuek sambil menggenggam tangan Kaela dan mengisyaratkan arah kampusnya.
                   Lori tak langsung menjawab, mengalihkan pandangan ke sepatunya, ke Andrez, sejenak ke Kaela, lalu sekejap ke arah genggaman tangan Andrez dengan pandangan tak suka samar. “Gue nyariin lo. Nih.” Lori menyerahkan kertas-kertas dan sebuah flashdisk pada sahabatnya itu. “Tinggal lo kumpulin. Udah gue print. Kalo nggak dikumpulin sekarang, nilai kita bisa nol.”
                   Andrez mendesah pelan, “Masih pagi, juga. Gangguin orang pacaran aja, ya, Sweety?” dia berpaling pada Kaela dengan pandangan memuja yang Kaela yakin hanya akting belaka. Selalu. Selalu aja gitu. Kaela ngerasa kalo Andrez juga ingin menunjukkan pada Lori bahwa kini mantannya itu telah menjadi miliknya. Entah apa maksudnya. “Ya udah, gue mau ngumpulin ini dulu.”
                   “Ayo gue anter.” Tawar Lori.
                   “Kalo gitu ngapain lo jauh-jauh dateng kesini nyuruh-nyuruh gue? Mending lo kumpulin sendiri kan? Ribet amat sih lo.” Komentar Andrez pedas seperti biasa, tapi setelah dipikir-pikir, masuk akal juga. Dan entah kenapa wajah Lori tiba-tiba menjadi agak malu. “Ah udah ah. Lo sini aja, Ri. Temenin pacar gue tersayang ini. Kayaknya dia sakit deh. Dateng pagi-pagi padahal nggak ada jadwal kuliah, kalo dia mau makan, anterin. Nanti gue ganti duitnya. Gue mau ngumpulin ini dulu.” Tukasnya tanpa tedeng aling-aling.
                   “No.. I’m fine kok.” Protes Kaela. Bukan karena dia merasa sakit, tapi karena dia nggak mau ada Lori di sekitarnya. Lagian ngapain sih Andrez tuh biarin dia sama Lori dan bukannya malah cemburu kalo Kaela deket-deket Lori? Dasar cowok aneh!
                   “Sweety, kamu itu nanti kalo sakit beneran, aku yang nggak enak sama Mama-mu. Bukannya dia udah mesenin suruh jagain kamu? Lagian aku khawatir kalo kamu sakit or kenapa-kenapa.” Andrez mengelus pipinya lembut. Tapi ada sesuatu yang Kaela rasakan di tatap matanya dan nada suaranya. Mata itu, di balik bulu mata lentik Andrez, entah kenapa memancarkan ketulusan. Tidak. Tidak dibuat-buat seperti biasa, sorot mata itu begitu….jujur. Teduh, dan membuatnya nyaman. Pertama kali-nya Kaela merasakan aura Andrez begitu tulus, begitu…menyayanginya? Ah entahlah. Mata Andrez tampak memantulkan cahaya matahari, seperti diselimuti embun.
                   Kaela terdiam tak menjawab. Andrez, kenapa di balik sorot matanya tadi seperti menyimpan…kesedihan? Sesuatu yang tak pernah ditangkap Kaela sebelumnya. Tanpa menunggu respon Kaela, Andrez dengan motornya melaju cepat langsung membelah udara. Meninggalkan Kaela yang agak syok melihat perubahan super-cepat Andrez dan Lori yang kini agak salah tingkah menghadapi Kaela sendirian.
                   “Hai.” Sapanya kaku.
                   “Hai.”
                   “Apa kabar?”
                   “Baik. Lo?”
                   “Baik juga. Gimana tahun pertama kuliah? Seneng?”
                   “Lumayan. ….”
                   Lalu pembicaraan jadi garing dan akhirnya keduanya diam karena tak ada yang bisa dikatakan lagi.
                   Beberapa menit kemudian, Lori bertanya lagi, “Lo sakit?”
                   Kaela menggeleng. Nggak. Gue cuma kurang enak badan.”
                   “Blom makan ya? Makan gado-gado yuk.” Ajaknya ramah. Kaela jadi makin nervous melihat senyum Lori yang tulus dan menyenangkan mengajak Kaela makan makanan favoritnya itu. Bahkan dia masih ingat apa makanan kesukaanku, batin Kaela dalam hati.
                   “Thanks tapi gue nggak lapar. Gue nungguin Andrez aja.”
                   Tiba-tiba Lori menghela napas panjang. Tertunduk memandangi sepatunya. “Gue tau. Tapi, mungkin Andrez nggak bakal dateng dalam satu jam ini.”
                   Kaela mengernyit bingung, “Lho kenapa? Masak nyerahin tugas aja bisa ampe sejam sih?”
                   Lori tidak menjawab. Hening.
                   “Lori! What happened with Andrez?” Kaela mendesak khawatir. Jangan-jangan ada apa-apa sama Andrez.
                   “Dia baik-baik aja kok. Tenang aja. Dia cuma mau ngasih kesempatan sama gue buat ngomong sesuatu ke elo.”
                   Lagi-lagi alis Kaela bertaut, “Ngomong? Maksud lo apa’an sih?”
                   “Gue… Gue mau bilang. Kalo gue udah dapet kerja sampingan. Emang sih, gajinya nggak gede. Tapi kadang-kadang gue dapet orderan yang lumayan buat makan, dan dikit-dikit buat bayar kuliah sendiri, dan juga……bayar kost’an. 4minggu ini gue udah keluar dari rumah. Ya. Gue udah nggak tinggal bareng bokap-nyokap gue. Gue terpaksa hengkang dari rumah itu. Sejak kedatangan Lyra ke rumah, gue udah berontak dan pengen cepet-cepet keluar dari rumah itu. Gue nggak betah. Dan…emm..gue nggak mau nyakitin perasaan lo.”
                   DEG! Jantung Kaela seakan disuntik dosis tinggi adrenalin. Apa-apaan Lori ini? Ngapain dia ngomongin soal ini?
                   “Dulu gue nggak bisa seenaknya nentang. Karena gue masih tergantung sama Nyokap gue. Apa-apa selalu minta. Jadi, sekarang gue nyoba mandiri dengan hidup sendiri, dari penghasilan gue sendiri, gue nekat pergi dari rumah karena…karena…emm…karena lo, Kae.”
                   Kaela terhenyak, “G..Gue???”
                   “Ya. Gue sayang sama lo, Kae. Gue pengen serius sama lo. Gue nggak peduli ada siapapun nyoba ngancurin kita. Gue bener-bener sayang sama lo, Kae.” Lori meraih tangan Kaela.
                   Air mata Kaela tumpah. Kenapa? Kenapa baru sekarang?
                   “Gue minta maaf udah ngecewain lo. Gue salah. Gue nggak mikirin perasaan lo tersiksa banget. Gue idiot yang biarin lo lepas dari gue. Gue nyesel kenapa Lyra selalu dateng di antara kita. Tapi biar gue jelasin, Kae. Gue nggak ada apa-apa sama dia, gue nggak sayang sama dia. Karena gue sayang nya sama yang jauh lebih baik daripada dia. Lo. Gue sayang lo, Kae. Sayang banget. Gue ampe bingung, frustasi, gara-gara kehilangan lo.” Mata Lori ikut berkaca-kaca juga sambil menggenggam jemari Kaela. Kaela cuma terdiam. Tak menjawab. Hanya bisa mengeluarkan air mata dari sungai di pipinya yang terus mengalir.
                   “Maafin gue ya, Kae. Gue udah memilih. Ya, seperti kata lo dulu. Gue udah memilih lo. Bukan keluarga gue. Gue tau ini emang belum berakhir. Tapi gue bisa coba. Gue bakal berusaha buktiin ke bokap-nyokap gue kalo gue mampu hidup tanpa mereka. Karena dengan tetep tinggal sama mereka, gue bakal terus nyakitin lo, seseorang yang gue cintai. Dan gue nggak mau itu terjadi. Gue mau kita mulai dari awal lagi, Kae.”
                   Kaela menatap Lori dengan air mata berlinang. “Sama aja, Ri. Keluarnya lo dari rumah nggak bakalan ngubah Lyra keluar juga kan? Mau sampai kapan, Ri dia ada disana? Mau sampai kapan dia selalu dapet perhatian lebih dari keluarga lo? Mau sampai kapan harga diri gue sebagai seorang cewek diinjak-injak sama dia? Nggak, Ri. Gue nggak bisa. Sebelum Lyra keluar dari rumah lo, gue nggak bakal bisa balikan sama lo. Sorry.”
                   Sebutir air mata akhirnya mengalir di pipi Lori dan jatuh di dagunya yang runcing. “Kae, please. Gue udah pertaruhin semuanya demi lo. Iya. Gue janji dia bakal keluar dari rumah gue. Tapi butuh proses, Kae. Kita bakal usahain bareng. Pelan-pelan, ya?”
                   “Nggak. Gue emang nggak bisa gantiin posisi dia di keluarga lo, kan? Keluarga lo sayang banget sama dia kan? Dan gue ini nggak ada artinya kan? Gue nggak bisa, Ri. Masih banyak cowok-cowok lain yang lebih asyik orang tuanya dengan menerima gue dengan welcome.” Kaela tetap bersikukuh.
                   “Kae… kita bakal berusaha. Kita berdua bakal terus maju apapun yang terjadi. Gue janji.” Lori menatapnya dengan ekspresi memohon. Sinar matanya tampak jujur dan bersungguh-sungguh.
                   Lalu tiba-tiba 1 kenyataan lagi muncul di kepalanya menghantam Kaela. Andrez.
“Sorry, Ri. Lo tau sendiri kan? Gue nggak bisa. Gue udah punya Andrez. Gue nggak bisa pegang janji lo. sebaiknya lo terusin hidup lo sendiri. Dan begitu juga gue. Nggak ada yang bisa kita bangun lagi. Gue udah milik orang lain.”
                   Lori terperanjat. Tapi langsung menguasi diri kembali. “Lo bener-bener sayang Andrez?”
                   “Kenapa lo tanya kayak gitu? Andrez pacar gue. Jadi tentu gue sayang dia!” bentak Kaela agak emosi.
                    “Apa lo bahagia sama dia?” tanya Lori langsung ke pokok masalah. Tepat kena hatinya.
                   Andrez yang tidak pernah ingat janji-janjinya, tidak pernah memperlakukan Kaela layaknya orang paling special baginya, tidak pernah peduli padanya, kalaupun peduli, pasti alasannya hanya 2, 1.karena itu memang harus dilakukan alias formalitas, dan 2. Karena hanya basa-basi tak ada topik obrolan. Andrez tidak pernah menyenangkan Kaela, tidak pernah membuatnya tersenyum bahagia, tidak pernah mendengarkan segala keluh kesahnya dengan sabar, tidak pernah benar-benar membuktikan bahwa dia sayang Kaela.
                   Lain dengan Lori yang dari dulu selalu mengerti Kaela, selalu bisa membuat Kaela tersenyum, selalu ada saat Kaela menangis dan berkeluh kesah, tidak pernah mengingkari janji, selalu memperlakukan Kaela dengan sangat spesial, tahu apa saja yang disukai dan tidak disukai Kaela, bahkan kini ia sudah membuktikan pada Kaela kalau dia benar-benar menyayanginya. Seorang anak tunggal yang manja, kini harus mandiri, hidup dengan keringatnya sendiri, gara-gara tak ingin membuat Kaela sakit hati lagi.
                   Saat itulah Kaela sadar. Jadi apa alasan Kaela berpacaran dengan Andrez? Apakah karena pelarian ke seseorang terdekat Lori dengan alasan hanya untuk memanas-manasi Lori saja? Lalu kenapa dia bertahan? Lori sudah ada di depannya kini. Sosok sempurna yang memahami Kaela luar-dalam.
                   Kaela menimbang-nimbang. Apakah Lori layak? Apakah pengorbanannya ini sebanding dengan cinta dan rasa sayang yang akan Kaela berikan lagi? Apakah Lori tidak akan menyakitinya lagi?
         “Gue kangen lo, Kae.”bisik Lori pelan. Air matanya ikut menetes berkali kali. Seakan sudah merakan penderitaan sejak lama.
                   Kaela tak bisa menahan lagi. Dia menyadari kalo dia juga sangat merindukan cowok itu. Selama ini dia memang tak bahagia dengan Andrez. Kaela hanya mencintai Lori. Dan selamanya Andrez tak akan bisa menjadi seperti Lori. “G..gue juga kangen lo, Ri.”
                   Lori seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Dia meraih Kaela dengan perasaan lega ke peluknya. “I’m sorry. I promise that we’re never be apart anymore. I love you, Mikaela.”
                   Tersenyum, Kaela menjawab dengan hati bahagia. Kata-kata jujur pertama sejak mereka berpisah. “I love you, too, Lorian.” Sekelimut bahagia terpancar dari wajah Kaela. Ya! Lori layak. Dia layak dapat kesempatan lagi. Kaela yakin kini pilihannya tidak salah. Memang Lori belum bisa membahagiakannya 100%. Tapi Kaela memberikan waktu untuk Lori untuk berusaha memberikan Kaela kebahagiaannya. Kaela yakin Lori sanggup.



                   Sesosok cowok berperawakan tinggi, kurus, berhidung mancung, bermata sayu namun memiliki bulu mata lentik, serta berkulit sawo matang bersih tanpa noda sedikitpun dengan cirri khas rambut berantakannya, bersembunyi di balik pohon besar yang menyembunyikan dirinya dan motornya sedari tadi. Di tangannya tergenggam kumpulan kertas-kertas dan flashdisk.
                   Dia menghembuskan napas lega. Akhirnya Lori berhasil. Tak sia-sia jadi semuanya ini.
                   Tiba-tiba dia terkenang beberapa bulan yang lalu, Lori datang dengan tampang depresi, menemuinya. Ternyata gadis bernama Mikaela telah memutuskan hubungan mereka yang sudah berjalan lama. Dan Lori memang tak punya pilihan saat itu.
                   “Gue bingung. Gue nggak mau kehilangan dia, Ndrez. Gue sayang banget sama dia. Cuma gimana lagi, gue nggak bisa apa-apa ngelawan nyokap gue. Dia yang megang kendali dan hidup gue juga masih bergantung sama dia.”
                   “Ya lo yang tegas dong! Cowok itu musti berani ambil resiko, bro. Kalo lo nggak siap nentang, lo berarti musti siap kehilangan Mikaela. Kalo lo nggak siap kehilangan Mikaela, ya gimana caranya lo nggak bergantung sama ortu lo. Lo udah dewasa, bro. Udah harus bisa jatohin pilihan hidup. Nggak selamanya lo bakal netek terus ke keluarga lo. Terutama kalo terjadi hal-hal menyimpang kayak gini. Lo musti siap, brother.”
                   “So gue musti gimana? Dan Lyra kayaknya nggak bakalan pergi dalam waktu dekat.”
                   “Saran gue, lo keluar dari sana. Itu satu-satunya cara buktiin ke Mikaela kalo lo mandiri dan sayang sama dia.”
                   “Gitu ya? Terus gimana caranya? Duit kuliah, makan, dan uang bulanan gue kan dapetnya dari nyokap, Ndrez. Gimana gue bisa hidup coba kalo nggak minta?”
                   “Ya kerja, goblok! Dunia ini keras. Dapet duit tuh kita musti kerja.”
                   “Gue masih mahasiswa semester 5. Apa yang bisa gue kerjain coba? Sedangkan sarjana di luar sana aja belom tentu bisa kerja. Apa lagi gue?”
                   “Berusaha, woy! Nggak ada yang segampang balikin dadar telor!”
                   “Oke, oke. Gue butuh waktu buat nyari kerja. Apapun itu. Tapi gue bener-bener butuh waktu, Ndrez.”
                   “All time is yours, buddy.”
                   “Bukan gitu.”
                   “Then???”
                   “Beberapa hari lagi kelulusan Mikaela. Dia udah ikut PMDK ke Universitas kita. Dan…..”
                   “…”
                   “Kalo seandainya dia masuk dan kuliah disini, gue mau minta tolong sama lo. Cuma lo yang bisa bantuin gue.”
                   “Bantuin apa?”
                   Sejenak wajah tirus Lori kelihatan bimbang, antara mengatakan dan tidak. Tapi toh akhirnya Lori berkata, “Gue mau lo jagain dia. Gue nggak bisa liat dia kenapa-kenapa.” Wajah Lori menyiratkan kesedihan mendalam, matanya sayu dan sangat tidak bersemangat. “Lo mau kan nembak dia? Jadiin dia pacar lo?”
                   Dia tersedak soft drink yang sedang diminumnya. Apa yang barusan dia denger dari Lori???”Maksud lo?”
                   “Jadiin dia pacar lo. Karena gue nggak mau ada orang lain yang bersama dia, Ndrez. Gue sayang banget sama dia. Gue nggak rela ngeliat dia sama orang lain nantinya.”
                   “Nah, gue?”
                   “Dengan sama lo, gue yakin dia bakal aman. Nggak ada seorangpun yang bisa milikin dia.”
                   “Lo udah gila ya. Ri?! Itu sama aja lo mainin dia!!”
                   “Gue cuma mau jagain dia aja. Hanya lo yang bisa gue percaya, Ndrez. Bantuin gue. Seenggaknya setelah gue udah nyelese-in semuanya dan gue siap ketemu dia dengan kondisi yang lebih baik, kalo gue udah bisa hidup sendiri, kalo gue udah bisa keluar dari rumah. Kalo gue udah dapet kerjaan pas. Karena kalo nggak gitu, dia nggak bakalan bisa maafin gue.”
                   Akhirnya dia menghela napas berat. Kalo aja Lori bukan sahabat kentalnya sejak dulu, dia takkan mau ikut permainan ini. “Oke. Jadi gue musti pura-pura suka sama Mikaela dan sebisa mungkin jadi pacarnya. Supaya dia nggak jatuh ke tangan orang lain dan suatu saat bisa lo milikin lagi setelah lo kerja? Gitu?”
                   Lori mengangguk lemah.
                   “Oke, deal. Gue lakuin ini demi lo.”
………………………………………………………………………………………………………
          Tapi kenyataannya nggak segampang yang dia bayangkan. Mikaela yang diketahuinya aslinya begitu…begitu rapuh, begitu tersiksa, begitu sedih dan frustasi. Walaupun akhirnya dia mengakui bahwa gadis itu juga mempesona.
          Semua berjalan sesuai rencana. Kaela kuliah di Universitasnya, begitu percaya padanya dan akhirnya mau menjadi pacarnya. Tapi dia merasakan sesuatu pada gadis itu. Kesedihan yang bahkan tidak bisa disembuhkannya seketika.
          Hari-hari berjalan cepat sekali. Entah kenapa tiba-tiba perasaan itu muncul. Perasaan yang tidak boleh dia rasakan. Dia mulai benar-benar sayang pada Kaela.
          Tidak! Ya, dia tidak boleh merasakan itu pada Kaela. Dia harus menjaga jarak. Walaupun hatinya ingin terus bersama Kaela dan melindunginya layaknya cowok pada ceweknya. Tapi, No! Dia hanya bertugas menjaga Kaela sampai Lori berhasil mendapatkan pekerjaan dan hengkang dari rumahnya. Dia hanya seperti tempat penitipan barang sementara. Padahal jauh di lubuk hatinya dia tak rela Kaela suatu saat akan direnggut paksa darinya.
          Sakit sekali melihat aura kekecewaan Kaela terhadapnya. Tapi dia terpaksa. Demi Lori. Dia harus mempertahankan hubungannya dengan Kaela dengan sesekali bersikap cuek, acuh, dan sengaja sedikit membuat Kaela bête. Karena dia tahu kalau suatu saat Kaela akan pergi darinya. Jadi dengan bersikap menyebalkan, dia rasa Kaela tidak akan merasa bahwa dia benar-benar menyayanginya. Agar Kaela bisa kembali pada Lori lagi. Padahal sebaliknya. Dia menyayangi Kaela. Sangat. Andaikan Lori bukan sahabatnya, atau pertemuannya dengan Kaela lepas dari embel-embel Lori, pasti dia akan menjaga Kaela, memperlakukannya dengan spesial, seperti sepasang kekasih sebenarnya. Bukan seperti menjaga barang yang saat tiba waktunya, harus dikembalikan pada pemiliknya.
          ……………………………………………………………………………………..
          Pagi ini dia harus rela melihat Mikaela telah kembali pada pemiliknya.
          Melihat senyum Kaela pertama kali tadi membuatnya lega. Setidaknya ada yang membuatnya bahagia. Mungkin memang Lori orang yang tepat baginya. Tidak seperti dia yang hanya bisa membuat Kaela bête dan tak berguna.
          Dia menstarter motornya perlahan. Misinya sudah selesai. Entah apa yang akan terjadi besok. Tapi yang pasti, dia bahagia melihat Kaela bahagia. Bukankah itu yang namanya pengorbanan? Cinta tidak akan sempurna tanpa pengorbanan. Dan cintanya akan dia simpan sendiri tanpa ada yang tahu. Baik Lori, atau Kaela sendiri. Karena andai saja Kaela tahu bahwa hatinya sakit melihatnya kembali pada Lori. Dan andai saja Kaela tahu bahwa sebenarnya bila dia diberi kesempatan lagi, dia akan memperbaiki semua, meyakinkan Kaela bahwa dia benar-benar mencintainya. Tapi sayang. Cinta sudah terlanjur memilih. Memilih pada hati mana akan berlabuh, dan pada hati siapa yang siap melakukan pengorbanan. Karena saat seperti inilah, satu hati diwajibkan memilih dan hati lainnya harus berkorban. Kaela sudah menentukan pilihan. Dan dia juga sudah berkorban. Semua impas.  
Semoga bahagia, Mikaela.
Motor itu pergi keluar gerbang kampus dengan kecepatan tinggi.
The End
 
By: Hin Farah Intidara
Thursday, April 5th, 2012
21,55 WIB
 








Share:

0 komentar